Viral Staf Komisi D DPRD Sulsel Matikan Microphone Saat RDP, Begini Kronologi Sebenarnya
MAKASSAR, INDEKS MEDIA – Sebuah video viral di sosial media memperlihatkan aliansi mahasiswa wija to luwu beraudiensi dengan pimpinan DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel). Pertemuan ini membahas aspirasi salah seorang warga atas nama Kornes yang diduga pohon cengkeh miliknya ditebang tanpa adanya ganti rugi dari pihak PT Masmindo Dwi Area Luwu.
Seperti dalam video yang dilihat media ini pada Kamis (12/12/2024), memperlihatkan ketegangan dalam ruang rapat antara Mahasiswa, Lembaga bantuan Hukum bersitegang dengan Pimpinan DPRD Komisi D.
Tampak salah seorang perempuan yang mengenakan jilbab dan pakaian hitam diduga merupakan pengacara korban (Kornes) sedang mengutarakan pendapat, tiba-tiba dari belakang muncul seorang laki-laki berpakaian dinas diduga merupakan staf di kantor DPRD Sulsel, hendak mematikan microphone saat perempuan tersebut sedang berbicara.
Rapat yang berlangsung selama kurang lebih hampir tiga jam tersebut sempat menuai ketegangan antara mahasiswa aliansi WTL, pengacara korban dan Pimpinan Komisi D DPRD Sulsel. Pasalnya dalam rapat tersebut pihak aliansi dan pengacara yang tidak diundang memancing keributan dalam Rapat Dengar Pendapat antara korban, OPD terkait dan PT Masmindo Dwi Area.
Saat dikonfirmasi Indeks Media, pada Sabtu (14/12/2024), Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Halid Kadir, memberikan penjelasan detail mengenai jalannya rapat, aspirasi yang disampaikan, dan upaya mediasi yang dilakukan.
“Rapat itu berlangsung kurang lebih hampir 3 jam, Saya sebagai ketua komisi (D) sudah kasi ruang semua untuk menyampaikan aspirasinya,” Kata ketua Komisi D DPRD Sulsel, Kadir Halid, Sabtu (14/12/2024).
Seperti diketahui rapat dengar Pendapat antara pihak korban dan PT Masmindo beserta OPD terkait tersebut digelar pada Senin (9/12/2024) di Gedung Tower Lantai 9 DPRD Sulsel. Ketua Komisi D memberikan kesempatan pertama kepada mahasiswa dari Aliansi Wija To Luwu untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait kasus ini.
“Yang pertama itu dari mahasiswa mengatasnamakan dari Alinsi Wija To Luwu, karena dia yang ingin sampaikan aspirasi jadi saya kasi kesempatan,” terangnya.
Setelah mahasiswa selesai, perwakilan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terkait, serta pihak PT Masmindo, menyampaikan penjelasan dan jawaban atas pertanyaan, termasuk dari anggota Komisi D DPRD.
“Setelah dia (Mahasiswa) menyampaikan aspirasinya, saya kemudian persilahkan dinas terkait. Kemudian karena Kornes (Korban) terlambat, setelah selesai semua dari OPD yang terkait kemudian Kornes menyampaikan aspirasinya,” tuturnya.
Kornes, yang terlambat hadir, diberi ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Pengacaranya juga diberikan kesempatan berbicara, tetapi Ketua Komisi D merasa pengacara terlalu banyak mengintervensi dan mengganggu jalannya rapat.
“Kornes adalah korban, ditebang dia punya pohon cengkeh dan belum ada kesepakatan soal harga. Yang kami undang ini kan Kornes, dan dia bawa pengacara, pengacara juga sudah saya kasi kesempatan berbicara. Lalu saya kasi juga kesempatan dari PT Masmindo untuk menyampaikan dan menjawab seluruh pertanyaan termasuk pertanyaan dari anggota DPRD Sulsel Komisi D dijelaskan,” ungkapnya.
Ketua Komisi D berupaya mengusulkan solusi damai dengan menawarkan ganti rugi senilai Rp 1,5 miliar. Kornes lalu setuju dengan nominal tersebut dan bersedia mencabut laporannya di Polda Sulsel. Namun, suasana rapat memanas ketika pengacara Kornes terus berbicara tanpa memberikan ruang kepada pihak lain. Ketua Komisi D menilai tindakan tersebut mengganggu rapat sehingga memutuskan mematikan mikrofon pengacara dan menutup rapat tanpa kesepakatan final.
“Saya sudah mau kasi kesimpulan, saya sudah mau kasi solusinya. Jadi solusinya itu PT Masmindo mengakomodir tuntutan dari saudara Kornes yaitu biaya ganti rugi 1,5 Miliar. Lalu saya tanya Kornes ‘Apakah setuju dengan harga 1,5 Miliar dan mencabut laporannya di Polda supaya bisa damai’. Kornes setuju, seharusnya saya kembalikan lagi ke PT Masmindo tapi pengacaranya itu bicara terus dan saya tegur dan tidak kasi lagi kesempatan dia berbicara,” imbuhnya.
Ketua Komisi D menyayangkan sikap pengacara Kornes yang dinilai menghambat proses penyelesaian. Menurutnya, rapat sudah memberikan ruang yang cukup kepada semua pihak untuk berdialog dan menemukan solusi damai, tetapi perdebatan yang terjadi menghalangi tercapainya kesepakatan.
“Dia (Kornes) sudah utarakan, dia mau dibayar tuntutannya yang pertama itu 1 Miliar disampaikan oleh Wakil Kapolda kepala Intelkam Polda Sulsel kemudian naik 1,3 Miliar dan naik lagi 1,5 Miliar. Saya tanya ke Kornes, kalau dibayar 1,5 Miliar selesai masalah kan? dan akhirnya dia setuju dan cabut laporan di Polda,” jelasnya.
“Tapi yang pengacaranya di video itu yang pakai jilbab hitam, ngotot dia. Harusnya dia sebagai pengacara membantu itu Kornes menyelesaikan masalahnya, bukan malah tidak mau damai. Saya sudah tegur berapa kali dan bicara terus mengganggu persidangan, jadi saya suruh staf saya itu matikan mic karena menggaggu terus. Seharusnya kan saya kembalikan ke Masmindo tapi karena semua berbicara, yah sudah saya tutup sidang,” Sambungnya.
Rapat berakhir tanpa kesepakatan konkret, meskipun Kornes sempat menyetujui tawaran ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar. Ketua Komisi D berharap semua pihak dapat lebih kooperatif di masa mendatang agar masalah ini segera terselesaikan secara damai.
“Tidak ada kesepakatan, bagaimana mau ada kesepakatan kalau bicara terus dia. Itu tidak sopan, saya sudah upayakan membantu mereka dengan mengundang di rapat menyelesaikan persoalan ini,” imbuhnya.
Senada dengan itu jendral lapangan Aliansi Wija To Luwu juga mengatakan bahwa dalam RDP yang dilaksanakan tersebut tidak menemukan titik temu yang menjadi persoalan massa aliansi.
“Kalau persoalan hasil, tidak ada kesimpulan yang didapat dalam RDP kemarin,” kata Jendlap aliansi WTL, Haikal, pada Kamis (12/12/2024).
Menurutnya sikap pilih kasih pimpinan rapat dengar pendapat tersebut membatasi ruang gerak mahasiswa dalam menyampaikn aspirasinya. Sementara menurutnya pihak PT Masmindo DA justru diberi ruang menyampaikan pendapat.
“Ketegangan dalam forum tidak terlepas dari sikap pimpinan rapat yang membatasi kami untuk menyampaikan aspirasi, sementara pihak perusahaan diberikan keleluasaan. Masih banyak pertanyaan kami yang tidak dijawab, dan pimpinan rapat seolah-olah ingin mempercepat proses RDP,” ungkap Haikal.
Ia menambahkan, beberapa anggota aliansi dan LBH merasa diperlakukan tidak adil. Bahkan kata dia (Haikal) anggota aliansi diduga diusir dari forum karena terus mendesak jawaban terkait pertanyaan yang belum dijawab oleh PT Masmindo.
“Benar, kami diusir dari forum dan mic salah satu teman dari LBH dimatikan. Kami hanya mempertanyakan apa landasan PT Masmindo melakukan perusakan lahan pada kebun milik Pak Cones. Tuntutan kami jelas, ganti rugi yang sesuai dengan kesepakatan Pak Cones, sanksi terhadap oknum yang terlibat, serta pengkajian ulang terhadap AMDAL yang dimiliki PT MDA,” tegasnya.
Aliansi Wija To Luwu menekankan pentingnya DPRD Provinsi Sulsel untuk mengawal isu tersebut sampai tuntas. Pihak aliansi berharap, seluruh tuntutan yang disampaikan segera dipenuhi demi tegaknya nilai-nilai keadilan di Tana Luwu.
“Kami ingin DPRD benar-benar mengawal isu ini sampai selesai. Tuntutan kami bukan hanya untuk keadilan Pak Cones, tetapi untuk memastikan perusahaan tidak semena-mena terhadap warga Tanah Luwu,” tandasnya. (Arz/Ema)
Tinggalkan Balasan