INDEKS MEDIA LUWU RAYA

Berita Luwu Raya Hari Ini



Aparat Represif, Bukti Demokrasi Anti Kritik?

Ilustrasi

Oleh: Sofia Hamdani (Aktivis Dakwah Kampus)

Belum lama ini aparat kepolisian kembali melakukan tindakan represif terhadap aksi unjuk rasa kawal putusan MK. Seperti yang telah diketahui, pada hari Kamis, 22 Agustus 2024, berbagai kelompok masyarakat di berbagai kota turun ke jalan untuk berdemonstrasi menolak upaya badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencoba mengakali keputusan MK mengenai ambang batas partai politik dan batas usia pencalonan kepala daerah melalui rencana pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada. (korantempo/26/08/2024)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa kawal putusan MK di beberapa daerah. Ketua YLBHI mengungkapkan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta. (tempo/25/08/2024)

Unjuk rasa menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan umat untuk mengingatkan pemerintah. Tidaklah umat melakukan unjuk rasa kecuali adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Mirisnya aparat yang seharusnya bersikap netral justru melakukan berbagai tindakan represif seperti menyemprotkan gas air mata, melakukan kekerasan terhadap para demonstran dan tindakan lainnya yang tidak mencerminkan penegak hukum yang profesional. Padahal, adanya unjuk rasa tersebut untuk membuat pemerintah bermuhasabah.

Baik Presiden, DPR RI maupun aparat seharusnya memahami pentingnya melibatkan warga negara dalam pembuatan kebijakan. Sebab, ketidakpatuhan terhadap hak inilah yang menjadi alasan utama pelajar dan masyarakat merasa perlu turun ke jalan.

Secara normatif, unjuk rasa dalam sistem demokrasi merupakan hal yang sangat diperlukan, mengingat kritik merupakan bagian dari mekanisme kontrolnya. Bahkan kritik terhadap pemerintah merupakan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 28 e (3) dan diatur dengan UU No.9 tahun 1998.

Sayangnya realita menunjukkan bahwa kebebasan tesebut hanyalah jargon yang tidak terwujud. Jika menelusuri berbagai kasus serupa, sebenarnya kasus tindakan represif aparat bukanlah hal baru dalam demokrasi. Hampir setiap aksi unjuk rasa selalu ada aparat yang bertindak represif. Bukankah hal ini suatu keanehan jika terjadi berulang kali?

Sebagian besar orang masih menganggap bahwa sikap represif dan anti kritik ini adalah kesalahan pribadi orang yang sedang berkuasa. Sehingga kritikan hanya perlu diarahkan pada rezim tersebut maupun kelompok pengusungnya. Benarkah demikian?

Jika ditelaah lebih jauh, sikap seperti ini sebenarnya dapat ditemukan di orde manapun. Bahkan dapat ditemukan juga di pemerintahan negara yang konon paling demokratis.

Dari sini seharusnya umat menyadari bahwa bukan sekedar rezim dan kelompoknya saja yang salah atau dianggap menyimpang dari demokrasi yang ideal melainkan memang seperti itulah potensi bawaan dari demokrasi. Tidak ada yang benar-benar ideal untuk seluruh lapisan masyarakat. Kebebasan berpendapat yang senantiasa digaungkan pun hanyalah pemanis saja.

Mengapa demikian? sebagai sistem yang diciptakan manusia, demokrasi menghasilkan aturan yang rentan terhadap konflik, sering kali menguntungkan satu pihak dan tidak mencakup seluruh aspirasi. Kebijakan yang dihasilkan tidak selalu mampu menyelesaikan masalah secara mendalam. Ketika kelemahan terlihat, cara terakhir untuk mempertahankan posisi adalah dengan membungkam pihak-pihak yang mengungkapkan kekurangan, sehingga masyarakat tidak mengetahui adanya kelemahan dan kesalahan.

Kecacatan ini seharusnya mampu membuka mata kita bahwa sejatinya demokrasi bukanlah sistem yang ideal untuk menaungi berbagai lapisan masyarat. Sebab, sistem ini rentan dikuasai oleh tirani minoritas yang tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat.
Maka, sudah seharusnya umat beralih pada sistem yang jauh lebih ideal dan benar-benar memberi solusi, yaitu Islam.

Dalam Islam, seorang penguasa (Khalifah) bukanlah orang yang anti terhadap kritik dari rakyatnya sebab seorang khalifah adalah wakil ummat yang berperan untuk mengurusi urusan kehidupan manusia sekaligus penjaga aqidah dan syariah. Meskipun demikian, ia juga tidak menutup kemungkinan jika suatu waktu melakukan kesalahan. Sehingga dalam hal ini rakyat berhak memuhasabah pemerintah bahkan memberhentikannya jika dinilai melanggar hukum syari’at.

Salah satu mekanisme untuk menjaga agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah adanya muhasabah lil hukam (mengontrol dan mengoreksi penguasa) dan lembaga seperti majelis ummah dan qadli madzalim. Majelis ummah merupakan tempat merujuk bagi
Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Adapun qadhi madzalim ialah lembaga yang memiliki wewenang mengadili kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya.

Selain rakyat, baik penguasa dan jajarannya tentu juga memahami tujuan adanya muhasabah, yaitu tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi, sehingga terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya.)

Islam menjadikan amar makruf nahi munkar sebagai kewajiban setiap individu, kelompok, dan masyarakat. Hal ini sebagaimana dalam salah satu firman Allah Swt.

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-Imraan: 204).
Sehingga berlandaskan hal tersebut, rakyat akan senantiasa mengontrol penguasa dalam menjalankan amanahnya, sebaliknya penguasa tidak akan menutup diri dari masukan-masukan rakyatnya.

Contoh terbaik mengenai hal ini ada pada para khalifah Rasulullah Saw. Selain menerapkan syari’at Islam secara kaffah, mereka juga pribadi yang suka dikritik. Khalifah Abu Bakar misalnya, selaku pemimpin pertama negara Islam pasca wafatnya Rasulullah, dengan berat dan penuh ketakutan pada Allah ia menerima amanah sebagai Khalifah. Dalam pidato pertamanya pasca menerima baiat, ia bahkan terlebih dulu meminta nasihat rakyatnya daripada menasihati rakyatnya. Padahal beliau adalah kekasih Rasulullah sekaligus sahabat baiknya yang ketakwaannya kepada Allah tidak diragukan lagi dan pemahamannya terhadap wahyu bisa dlikatakan terbaik dibanding rakyatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini