OPINI : Keliru Pahami Surat Dinas KPU Pusat, PSU Pilwali Kota Palopo Terancam Diulang!
Oleh
Syafruddin Jalal
Mahkamah Konstitusi Menjaga Prinsip Jurdil dalam Pilkada
Pilkada Serentak 2024 memunculkan sejumlah perintah Pemungutan Suara Ulang (PSU) dari Mahkamah Konstitusi (MK), menandakan bahwa lembaga ini tidak lagi sekadar menjadi Mahkamah Kalkulator. Sejak era Mahfud MD, MK telah mengambil peran progresif dengan tidak hanya mengadili hasil suara, tapi juga menilai proses yang bertentangan dengan asas kejujuran dan keadilan (jurdil).
Langkah ini memperkuat posisi MK sebagai guardian of the constitution. Dan dari sekian kasus, dua yang patut dicermati lebih lanjut: Kabupaten Pasaman dan Kota Palopo.
Dua Kasus, Dua Perlakuan Berbeda
Dalam perkara Nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025 tentang Pilwali Kota Palopo, MK memerintahkan pembatalan hasil pemilihan dan mendiskualifikasi Trisal Tahir. Putusan ini juga memerintahkan verifikasi ulang hanya untuk pencalonan pengganti Trisal, dan secara tegas menyatakan bahwa verifikasi tersebut tidak berlaku bagi Ahmad Syarifuddin Daud.
Namun yang terjadi di lapangan berbeda. KPU Sulsel justru memberi kesempatan kepada Ahmad untuk melengkapi berkas pencalonan yang semestinya sudah gugur. Hal ini kontras jika dibandingkan dengan sengketa Pilkada Kabupaten Pasaman, di mana calon Anggit Kurniawan Nasution langsung didiskualifikasi karena tidak mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana. Ahmad pun tercatat pernah dihukum percobaan akibat menyebarkan fitnah pada Pilwali Palopo 2017.
Menurut Pasal 7 ayat (2) huruf h UU Nomor 10 Tahun 2016 dan Pasal 14 ayat (2) huruf h PKPU Nomor 8 Tahun 2024, Ahmad jelas telah melakukan perbuatan tercela. Jika ingin tetap mencalonkan diri, ia wajib mengumumkan riwayat pidananya secara terbuka sesuai Pasal 18 huruf d PKPU yang sama. Namun, hal ini tidak pernah dilakukan Ahmad—hingga akhirnya tetap diloloskan oleh KPU Sulsel.
Salah Tafsir atas Surat Dinas KPU Pusat
KPU Sulsel berdalih bahwa tindakan mereka merujuk pada arahan dalam Surat Dinas KPU Pusat. Surat tersebut memang menyebut bahwa Ahmad harus memenuhi kewajiban sebagai mantan terpidana, namun kalimat lengkapnya adalah: “sehingga terhadap Sdr. Ahmad Syarifuddin Daud wajib memenuhi persyaratan tersebut di atas sebagai bentuk tindak lanjut rekomendasi Bawaslu Palopo.”
Namun KPU Sulsel tampaknya hanya membaca sepintas dan menafsirkan frasa tersebut sebagai perintah langsung. Padahal, frasa krusial “sebagai bentuk tindak lanjut rekomendasi” justru menunjukkan bahwa verifikasi terhadap Ahmad harus dikaitkan dengan konteks rekomendasi Bawaslu dan putusan MK, bukan sekadar formalitas administratif.
Dengan memahami konteks Surat Dinas secara utuh, KPU Sulsel seharusnya tetap tunduk pada asas kepastian hukum, kesetaraan di muka hukum, dan Putusan MK Nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025. Putusan ini secara eksplisit hanya memberi ruang verifikasi untuk calon pengganti Trisal, bukan Ahmad. Meloloskan Ahmad bertentangan dengan amar putusan dan membuka celah diskriminasi hukum.
Keadilan yang Terlupakan di Balik Prosedur
PSU Pilwali Kota Palopo kini menanggung risiko cacat hukum kedua kalinya. Sebab Ahmad tidak pernah memenuhi syarat sejak awal, dan keikutsertaannya dalam PSU adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip lex dura sed tamen scripta—hukum memang keras, tapi harus ditegakkan.
Namun pelanggaran ini tidak bisa dilepaskan dari kelalaian KPU Palopo dalam verifikasi awal dan lemahnya pengawasan oleh Bawaslu Palopo. Kedua lembaga ini mestinya bertanggung jawab, karena locus dan tempus delicti pelanggaran Ahmad terjadi di wilayah kerja mereka.
Kini pertanyaannya: Mestikah terjadi PSU atas PSU? Jika mengedepankan asas kepastian hukum dan keadilan substantif, jawabannya: iya. Tapi apakah tak ada solusi lain? Sebab bukankah kelalaian Ahmad merupakan kelemahan verifikasi dan pengawasan. Seperti dikatakan Gustav Radbruch, hukum tidak hanya soal kepastian, tetapi juga soal keadilan dan kemanfaatan.
Penutup
KPU dan Bawaslu Palopo harus belajar dari kekeliruan ini. Salah tafsir terhadap surat dinas bukan hanya kesalahan administratif, tapi berpotensi menodai integritas demokrasi lokal. PSU tidak bisa dianggap remeh, dan MK—sebagai penjaga konstitusi—telah memberi arah. Tinggal bagaimana kita menegakkannya dengan benar. (*)
Tinggalkan Balasan