Kronologi Ome, Eks Terpidana Jadi Calon Wakil Wali Kota Palopo

Akhmad Syarifuddin saat diminta mengkonfirmasi surat di hadapan yang mulia Hakim Konstitusi di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK, Jumat (4/7). (Foto Humas MK/Teguh).

JAKARTA, INDEKSMEDIA. ID – Calon Wakil Wali Kota Palopo Akhmad Syarifuddin atau Ome berhasil meraih suara terbanyak pada Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Palopo tahun 2024 bersama dengan calon wali kota Palopo Trisal Tahir sebagai Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 4. Namun, kemenangannya terganjal setelah Paslon Nomor Urut 2 Farid Kasim-Nurhaenih mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Wali Kota Palopo ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga akhirnya keluar putusan bahwa Trisal Tahir didiskualifikasi karena dinyatakan tidak memenuhi syarat calon berupa ijazah pendidikan menengah atas.

Mahkamah pun memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) Pilwalkot Palopo dengan memberi kesempatan partai politik atau gabungan partai politik yang sebelumnya mengusung Paslon Nomor Urut 4 untuk mengajukan atau mendaftarkan paslon yang baru tanpa mengikutsertakan lagi Trisal Tahir. PSU itu kemudian diikuti Naili-Akhmad Syarifuddin sebagai Paslon Nomor Urut 4.

Berikutnya, KPU menetapkan hasil perolehan PSU yaitu Paslon Nomor Urut 1 Putri Dakka-Haidir Basir sebanyak 269 suara, Paslon Nomor Urut 2 Farid Kasim-Nurhaenih sebanyak 35.058 suara, Paslon Nomor Urut 3 Rahmat Masri Bandaso-Andi Tenri Karta sebanyak 11.021 suara, dan Paslon Nomor Urut 4 Naili-Akhmad Syarifuddin sebanyak 47.349 suara. Akhmad Syarifuddin menang kembali.

Namun, lagi-lagi kemenangan Akhmad Syarifuddin terhambat karena giliran Paslon Nomor Urut 3 Rahmat Masri Bandaso-Andi Tenri Karta mengajukan permohonan PHPU Wali Kota Palopo pasca-PSU. Dalam permohonannya, Rahmat Masri Bandaso-Andi Tenri Karta mendalilkan Akhmad Syarifuddin tidak jujur atas statusnya sebagai mantan terpidana.

Lalu kenapa penyelenggara pemilihan umum (pemilu) luput atas status mantan terpidana Akhmad Syarifuddin pada Pilwalkot Palopo sebelumnya?

Menurut Akhmad Syarifuddin yang dihadirkan dalam persidangan di Mahkamah pada Jumat (4/7/2025), dirinya beranggapan status terpidana pada 2018 lalu dengan sanksi kurungan penjara percobaan 4 bulan tidak termasuk kategori yang disyaratkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada untuk secara jujur dan terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Pemaknaan demikian membuat Akhmad Syarifuddin mengajukan permohonan surat keterangan tidak pernah dipidana ke pengadilan negeri, alih-alih melengkapi persyaratan sebagai calon dengan status mantan terpidana.

“Kami merasa bahwa itu tafsir tidak masuk dalam kriteria 5 tahun ke atas itu sehingga syarat itu yang kami isi sesuai dengan apa yang menjadi keyakinan kami,” ujar Akhmad Syarifuddin.

Atas permohonannya, pengadilan negeri mengeluarkan surat keterangan tidak pernah dipidana untuk Akhmad Syarifuddin. Surat itulah yang kemudian disampaikan Akhmad Syarifuddin untuk memenuhi persyaratan pencalonan.

ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang mensyaratkan calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Norma tersebut kemudian telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang berbunyi, “g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”.

Kemudian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 8 Tahun 2024 menentukan bagi calon dengan status mantan terpidana harus menyerahkan surat dari pemimpin redaksi media massa harian lokal yang menerangkan calon telah secara jujur atau terbuka mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana dan jenis tindak pidananya dengan disertai buktinya, surat keterangan dai kepala lembaga pemasyarakatan, salinan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan surat keterangan yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang.

Akhmad Syarifuddin menyebutkan dirinya disangkakan pidana Pasal 187 ayat (2) UU Pilkada dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Ketentuan tersebut berkaitan dengan sanksi pidana bagi pelanggaran dalam pilkada khususnya terkait politik uang.

Wakil Ketua MK Saldi Isra selaku pimpinan Majelis Panel Hakim untuk perkara ini menyinggung kinerja/respons Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan KPU atas informasi adanya tindak pidana Akhmad Syarifuddin yang telah berkekuatan hukum tetap. Dia mempertanyakan bagaimana penyelenggara pemilu itu luput atas kejadian tersebut.

“Kalau sudah jelas dalam SKCK itu disebutkan pasal lalu di situ ada pasal yang wilayah pidananya masa Anda tidak teliti, lalu mengaminkan saja ada surat tidak pernah terpidana,” tutur Saldi.

Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan sidang kali ini ialah sidang terakhir. Mahkamah akan membahas perkara ini dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Para pihak dimohon untuk menunggu putusan perkara ini.  (sumber: website MK).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini

Maaf Untuk Copy Berita Silahkan Hubungi Redaksi Kami!