MinyaKita, Milik Kita?
PALOPO, INDEKSMEDIA.ID – Terbaru, harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700 dinilai tak masuk akal. Pasalnya, ini berkebalikan dengan julukan bahwa Indonesia merupakan eksportir minyak sawit mentah (CPO), bahan baku minyak goreng. (Tempo.co. 20/7/24)
Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, kenaikan harga ini menggerus daya beli masyarakat yang rendah. Menurut catatannya, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2023 mencapai 50,07 juta ton. Naik 7,15 persen dibandingkan produksi 2022 yang mencapai 46,73 juta ton.
Ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan minyak goreng, Indonesia tidak perlu impor. Sehingga biaya produksi dan nilai tukar rupiah tidak dapat dijadikan alasan atas kenaikan ini. (Liputan6. 20/7/24)
Harga Minyak Naik, Rakyat Tercekik
Kenaikan harga MinyaKita memang tidak masuk akal, mengingat Indonesia adalah negeri penghasil sawit terbesar. Pasalnya, minyak goreng termasuk kebutuhan pokok pangan masyarakat.
Setelah adanya penimbunan minyak goreng beberapa waktu lalu, masyarakat kini beralih pada produk minyakita karena harganya terjangkau dan mudah didapatkan. Namun munculnya kebijakan terbaru tentang kenaikan harga eceran minyak goreng seakan menarik harapan rakyat pada produk legal dan berpeluang untuk beralih pada produk ilegal yang dapat merugikan kesehatan masyarakat karena diedarkan tanpa pengujian keamanan terlebih dahulu.
Hal ini menunjukkan adanya salah kelola akibat penerapan sistem ekonomi Kapitalisme, sehingga pengaturan kebutuhan rakyat tidak pro rakyat. Apalagi negara tidak berperan dalam distribusi, dan justru dikuasai oleh Perusahaan yang memperpanjang rantai distribusi dan mengakibatkan harga makin mahal.
Minyak dalam Perpektif Islam
Islam memandang pemenuhan kebutuhan pokok menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme sesuai syariat. Hal ini merupakan bagian dari peran negara sebagai pelayan untuk umat termasuk ketersediaan bahan pokok pangan.
Misal, untuk menjamin kestabilan bahan pangan dalam hal ini minyak goreng agar tetap stabil dan terkendali, negara akan memastikan ketersediaan bahan baku minyak goreng (CPO) dalam negeri dalam stok yang mencukupi. Hal ini mencakup ketersediaan lahan, produksi, hingga distribusi.
Pengaturan CPO negara islam tidak akan mengikuti mekanisme pasar internasional, namun CPO akan dikelola secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan warga negara. Cara ini akan menutup celah para spekulan di sektor produksi. Sedangkan pada sektor distribusi, negara akan membiarkan harga sesuai hukum supply dan demand yang terjadi di pasar dan tidak mematoknya. Persaingan ini secara alamiah akan menjadikan harga stabil dan terjangkau. Namun jika ada kenaikan harga akibat permintaan yang tinggi namun barang yang tersedia sedikit, maka negara akan melakukan intervensi dengan menambah stok barang. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab ketika masyarakat di syam mengalami krisis. Beliau menyuplai barang yang dikirim dari Irak.
Penerapan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan sawit menjadikan minyak mudah didapat dengan harga murah. Hal ini akan mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena negara menjadi pihak pengendali distribusi kebutuhan rakyat termasuk minyak.
Selain itu, dalam sistem Islam juga terdapat Qadhi Hisbah yang bertugas mengontrol harga di pasar agar tetap stabil, tidak terjadi kecurangan, praktek monopoli yang akan memberatkan rakyat. Inilah salah satu cara negara islam agar kebutuhan rakyat tersedia dengan optimal.
Penulis: Nurul Rahmah S.Pd. (Aktivis Dakwah Kampus)
Tinggalkan Balasan