Insentif RT-RW tak Dibayar di Palopo, Di Mana Kepastian Hukumnya

Oleh: Muh. Chaezar Fachreza Harla (Dosen Fakultas Hukum Unanda)

RT dan RW adalah wajah paling dekat dari negara di tengah masyarakat. Mereka mengurus administrasi kependudukan, memediasi konflik warga, membantu program pemerintah, hingga menjaga ketertiban lingkungan. Di Kota Palopo, peran ini berjalan setiap hari.

Namun ironisnya, justru pada titik paling dasar pelayanan publik ini muncul persoalan serius, yakni insentif RT/RW yang tidak dibayarkan.
Sebagian pihak mungkin beranggapan bahwa insentif RT/RW bukanlah kewajiban mutlak karena RT/RW bukan aparatur sipil negara. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga tidak lengkap.

Dalam perspektif hukum administrasi, persoalan insentif tidak bisa dilepaskan dari dasar regulasi dan penganggaran. Ketika insentif RT/RW telah diatur dalam peraturan daerah atau peraturan wali kota, serta dialokasikan dalam APBD, maka secara hukum ia telah menjadi hak administratif.

Di sinilah persoalan Palopo menjadi krusial. Ketika hak administratif tidak dipenuhi, maka yang dipertanyakan bukan lagi sekadar kemampuan fiskal daerah, melainkan komitmen pemerintah daerah terhadap kepastian hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Pemerintah daerah terikat pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, seperti kepastian hukum, akuntabilitas, dan keterbukaan. Mengabaikan pembayaran insentif tanpa penjelasan hukum yang jelas berpotensi dikategorikan sebagai kelalaian administratif.

Pemerintah daerah tentu memiliki ruang diskresi. Penundaan pembayaran dapat saja dilakukan, misalnya karena adanya evaluasi anggaran, rekomendasi lembaga pemeriksa, atau perubahan kebijakan nasional. Namun, diskresi bukan berarti kebebasan tanpa batas. Setiap kebijakan harus berbasis hukum, disampaikan secara transparan, dan dapat diuji secara rasional.

Tanpa itu, kebijakan justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan kegaduhan sosial. Tidak dibayarkannya insentif RT/RW menimbulkan beberapa implikasi hukum, seperti potensi maladministrasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, cidera janji kebijakan (policy breach), jika sebelumnya pemerintah menjanjikan pembayaran melalui regulasi atau keputusan resmi, serta kerugian hak keuangan non-pegawai, meskipun RT/RW bukan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Alasan penundaan pembayaran tentu dimungkinkan, misalnya karena adanya evaluasi anggaran atau temuan dari lembaga pemeriksa. Namun, alasan tersebut harus disampaikan secara terbuka, tertulis, dan berbasis dasar hukum yang jelas. Kebijakan yang tidak disertai penjelasan normatif justru akan memperlemah kepercayaan publik dan memperbesar konflik sosial di tingkat akar rumput.

Persoalan ini sejatinya tidak semata menyangkut nominal insentif, tetapi menyentuh martabat pelayanan publik. Ketika RT/RW sebagai pelaksana pelayanan paling dekat dengan masyarakat tidak memperoleh kepastian hak, maka pelayanan publik di tingkat kelurahan dan lingkungan berpotensi terganggu. Pada akhirnya, masyarakat Kota Palopo yang akan merasakan dampaknya.

Masalah insentif RT/RW di Kota Palopo sejatinya tidak hanya soal uang. Ini adalah persoalan keadilan dan penghargaan terhadap kerja pelayanan publik. RT/RW diminta tetap bekerja, tetap melayani, bahkan tetap menjadi perpanjangan tangan pemerintah, sementara hak dasarnya tidak mendapatkan kepastian. Kondisi ini berpotensi melemahkan motivasi, menurunkan kualitas pelayanan, dan pada akhirnya merugikan masyarakat luas.

Lebih jauh, persoalan ini juga berdampak pada kepercayaan publik. Ketika pemerintah daerah tidak konsisten antara regulasi dan praktik, maka kepercayaan masyarakat akan terkikis. Padahal, kepercayaan adalah modal utama dalam menjalankan pemerintahan yang efektif, terlebih di daerah.

Pemerintah Kota Palopo perlu mengambil langkah tegas dan terukur. Jika insentif RT/RW memang tidak dapat lagi dibayarkan karena alasan hukum tertentu, maka regulasi yang menjadi dasar harus dievaluasi dan disesuaikan. Sebaliknya, jika dasar hukum dan anggaran masih tersedia, maka pembayaran insentif bukan lagi pilihan kebijakan, melainkan kewajiban hukum.

Persoalan insentif RT/RW seharusnya menjadi momentum bagi Palopo untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah. Kepastian hukum tidak hanya dibutuhkan oleh investor atau elite birokrasi, tetapi juga oleh RT/RW yang setiap hari bekerja senyap melayani masyarakat. Di situlah wajah negara sesungguhnya diuji.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini

Maaf Untuk Copy Berita Silahkan Hubungi Redaksi Kami!