DLH Palopo Kewalahan Atasi Perusak Kawasan Lindung Buntu Tabaro, Aktivis Lingkungan Minta Polisi Usut
PALOPO, INDEKSMEDIA.ID – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palopo, Emil Nugraha Salam angkat bicara terkait kerusakan kawasan lindung Bukit Buntu Tabaro. Menurutnya, penggunaan kawasan lindung oleh beberapa oknum adalah sesuatu yang tidak memilki izin.
“Sudah ditinjau tim terpadu, tidak ada perizinan lingkugan dan sudah ditutup tim terpadu,” kata Emil kepada wartawan, Jumat (19/12/2025).
Emil mengaku bahwa tim terpadu telah datang ke lokasi untuk menghentikan aktifitas penggundulan pada kawasan lindung tersebut. Sayangnya, terkait dalang dari kerusakan kawasan itu, Emil mengaku tidak mengetahuinya.
“(DLH) bersama tim terpadu untuk menghentikan aktifitas kegiatan. (Terkait dalang kerusakan) tidak ada data kami terkait ini,” ungkapnya.
Nama-nama Pejabat Muncul Dibalik Kerusakan Bukit Buntu Tabaro
Belakangan mencuat beberapa nama pejabat di Kota Palopo yang diduga dalang sebagai perusak kawasan lindung tersebut. Diantaranya oknum pejabat kelurahan, anggota dewan hingga kepala sekolah.
Isu tersebut beredar di masyarakat lantaran anggapan bahwa penyuplai anggaran pembukaan lahan di Buntu Tabaro adalah pemodal besar. Selain itu, masyarakat setempat telah membantah terkait adanya iuran dalam pembukaan lahan tersebut.
Baca Juga: Gunung Buntu Tabaro Palopo Digunduli OTK, Warga: Picu Banjir di Balandai
Untuk diketahui, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palopo tahun 2022-2041, Buntu Tabaro dan beberapa kawasan di dekatnya masuk dalam Kawasan Lindung. Kawasan Lindung sendiri yakni wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang menckup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan yang berkelanjutan.
Potensi Pidana Dibalik Kerusakan Buntu Tabaro
Sanksi bagi individu ataupun badan hukum yang melakukan aktivitas yang melanggar ketentuan di kawasan lindung dapat sangat serius dan diatur dalam beberapa undang-undang.
Salah satu pasal yang mengatur terkait hal tersebut yakni undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pelaku yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di kawasan lindung dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 Miliar.
Selain itu, berdasarkan UU Penataan Ruang, sangsi pidana dikenakan kepada setiap orang yang memanfaat ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang (RTRW) yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang. Selain itu, sanksi pidana juga dapat dikenakan kepada orang yang memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfataan ruang dari pejabat yang berwenang.
Aktivis Lingkungan Minta Polisi dan Kejaksaan Turun Tangan
Salah seorang aktivis lingkungan bernama Nugrah menganggap pemerintah Kota Palopo main-main dalam penjagaan kawasan lindung tersebut. Sehingga, dia meminta agar pihak kepolisian dan kejaksaan turun langsung melakukan penyidikan terkait perusakan bukit Buntu Tabaro itu.
“Kejagung dan Polri saya dengar diberi kewenangan untuk mengatasi terkait kerusakan lingkungan, kita tidak ingin ada kerusakan Sumatera dan Aceh di Kota Palopo ini, kasihan anak cucu kita. Saya harap aparat penegak hukum secara serius menyelidiki pelanggaran pidana yang berefek ke kerusakan generasi kita mendatang,” tutupnya.





Tinggalkan Balasan